layanan belajar ke seluruh masyarakat di semua penjuru kota, desa,
pulau, dan sudut Nusantara luas ini tidak mudah. Terlebih lagi, jelas
sulit jika menggunakan cara pandang dan peralatan dua abad lalu. Apalagi
ketersediaan dan penyebaran guru bermutu juga terbatas. Namun
teknologi sudah mengubah segalanya.
TEKNOLOGI
Suka
atau tak suka, pemanfaatan teknologi dalam dunia belajar-mengajar sudah
ada di depan mata. Bukan lusa atau esok, tetapi detik ini, teknologi
sudah berperan. Dua ilustrasi berikut meyakinkan kenyataan ini.
Ilustrasi pertama dari pengurus Dewan Pendidikan Jawa Timur, Bapak
Sulistyanto Soejoso. Beliau mengisahkan bahwa di dekat sebuah masjid di
Surabaya, di bulan Ramadhan tahun ini, ada yang menjual kerak telor. Ini
tentu penganan khas Betawi. Ternyata sang penjual yang dari Jombang,
Jatim, belajar membuat kerak telor melalui Internet. Ini bukti gamblang
bahwa belajar berbasis Internet sudah berfungsi. Masyarakat kelas bawah
juga sangat terbantu oleh Internet guna belajar serta mengembangkan dan
menyejaterahkan dirinya.
Ilustrasi kedua dari eksperimen One Laptop per Child oleh
Nicholas Negroponte, staf Massachusetts Institute of Technology (MIT
Technology Review, 29 Oktober 2012). Bersama timnya, beliau membagikan
sejumlah sabak digital ke anak-anak di dua desa sangat terpencil di
Ethiopia.
Saat memberikan sabak digital yang dilengkapi sumber daya listrik
bertenaga surya, mereka tidak menjelaskan cara penggunaannya, kecuali
hanya cara mengisi ulang dayanya. Tim peneliti ini membagikan tiap sabak
digital tersebut dalam keadaan masih terbungkus rapat dalam kardus
pengemasnya. Perlu dicatat, penduduk di desa ini benar-benar buta huruf,
bahkan tak sedikit yang belum pernah melihat bahan cetakan seperti
buku, koran, atau kardus pengemas sepanjang hidupnya.
Tiap minggu tim merekam apa yang telah dikerjakan satu minggu itu
dengan tiap sabak. Hasil temuannya sangat mengejutkan para peneliti.
Ternyata, setelah hanya lima hari pertama, anak-anak ini telah
mengoperasikan 47 aplikasi dalam sabak tersebut setiap harinya. Beberapa
anak terus asyik belajar menyusun aksara menjadi kata dan beberapa yang
lain belajar mengeja lewat nyanyian. Satu anak bahkan sanggup meretas
sistem operasi untuk mengubah pengaturan sabak tersebut agar kameranya
berfungsi, karena sebelumnya kameranya dimatikan tim. Jadi, kita harus
yakin dengan kemampuan anak-anak di pedalaman untuk beradaptasi serta
memanfaatkan teknologi. Anak-anak kita di pelosok sudah sangat siap
belajar dengan peralatan modern. Kendalanya mungkin hanyalah pikiran
kebanyakan kita yang meremehkan kemampuan anak-anak ini dalam belajar
dan juga fasilitasnya.
AWAN BELAJAR
Kementerian
Budaya Belajar bersama masyarakat harus menebarkan kasmaran belajar.
Menebarnya dapat dengan menginisiasi Awan Belajar yang merupakan
fasilitas maya tempat pengetahuan, piranti lunak, dan bersosialisasi.
Ini adalah masa depan teknologi belajar-mengajar. Jika permasalahan
ketersediaan dan penyebaran guru bermutu di negara kita seperti masalah
tak berjawab saat ini, awan belajar dapat membantu. Setiap pelajar,
bahkan orang tua di pelosok mana pun dapat mengalami pembelajaran
bermutu di tempatnya secara cuma-cuma melalui awan belajar ini. Mungkin
saja para petani di pegunungan terpencil dapat belajar teknik baru
menanam sayuran atau nelayan di pulau terluar dapat belajar teknik
mengawetkan ikan. Kasmaran belajar pada semua warga harus diwujudkan.
Pelayanan pendidikan bermutu bagi setiap warga dapat diwujudkan.
Ditambah penyediaan sumber listrik tenaga surya atau alternatif lain
yang teknologinya semakin terjangkau saat ini, pemerintah mendatang
diharapkan memfasilitasi upaya menumbuh-kembangkan kasmaran belajar di
pelosok Nusantara yang belum terjamah.
Sampai kapan harus menunggu tersedianya kurikulum dan buku bermutu?
Sampai kapan harus menunggu tersebarnya guru kelas dunia di lereng
pegunungan terpencil? Sampai kapan harus menunggu adanya fasilitas
laboratorium sekolah di pedalaman? Sampai kapan harus menunggu usainya
transaksi politik dalam kebijakan pendidikan? Anak bangsa ini tak punya
kemewahan untuk menunggu. Masyarakat dan lembaga pendidikan yang berdaya
harus bergerak untuk meyakinkan agar setiap anak segera menjalani
pengalaman belajar bermutu yang mendukung pengembangan kecakapan belajar
dan berpikir. ***
Sumber Referensi: BINCANG EDUKASI
http://www.bincangedukasi.com/kementerian-budaya-belajar.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !