KURIKULUM 2013: Merencanakan Kegagalan Pendidikan (Lagi)
Daniel Mohammad Rosyid
Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur
Daniel Mohammad Rosyid
Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur
Saat ini Kemendikbud sedang menyusun Kurikulum baru yang bakal
digunakan pada tahun 2013. Uji publik juga sudah dimulai. Upaya ini
dilakukan sebagian sebagai respons atas tawuran pelajar dan mahasiswa
yang marak, dan sinyalemen keras bahwa kurikulum kita saat ini
overloaded, terlalu banyak mata pelajaran yang disajikan di sekolah.
Kemudian mata pelajaran IPA dan IPS dihapus di SD, dimasukkan secara
tematik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Agama, atau
Kewarganegaraan. Disinyalir jumlah mata pelajaran yang terlalu banyak
telah menyebabkan pembelajaran dangkal, bukan mendalam.
Dalam draftnya, kurikulum baru ini dikembangkan sebagai bagian dari
strategi pengembangan pendidikan tiga dimensi. Dimensi pertama adalah
peningkatan efektifitas belajar. Kurikulum dan pelaksananya, yaitu guru,
menjadi kunci. Dimensi kedua, meningkatkan lama tinggal di sekolah
hingga jenjang SMU melalui program Pendidikan Menengah Universal, atau
program Wajib Belajar 12 tahun. Yang ketiga adalah menambah jam belajar
di sekolah hingga sore hari. Ketiga strategi ini tentu perlu kita
apresiasi. Tulisan pendek ini bermaksud memberi catatan kritis atas
strategi tersebut.
Catatan pertama, ketiga dimensi strategi tersebut saling berkaitan,
bukan besaran yang berdiri sendiri. Harus dikatakan bahwa dimensi
pertama sesungguhnya adalah strategi yang paling menentukan. Dalam
banyak kasus, dimensi kedua dan ketiga justru bisa menghambat dimensi
yang pertama. Ini telah ditunjukkan oleh Ivan Illich sekitar 40 tahun
yang lalu dan bisa kita amati secara empiris di sekitar kita saat ini :
semakin banyak sekolah, semakin lama bersekolah, semakin besar anggaran
pendidikan, semakin banyak sarjana, tapi masyarakat tampaknya tidak
semakin terdidik.
Kedua, ada asumsi yang kuat bahwa dimensi kedua, yaitu, semakin lama
bersekolah (hingga jenjang sekolah menengah) semakin baik. Lalu semakin
lama di sekolah (pulang sore) (dimensi ketiga) juga semakin baik. Asumsi
ini hanya valid bila dimensi pertama valid, artinya, pembelajaran
terjadi secara efektif. Jika asumsi ini tidak valid, semakin lama
seorang murid bersekolah dan di sekolah hingga sore hari, justru semakin
buruk akibatnya bagi dirinya. Asumsi-asumsi ini sangat dipengaruhi oleh
schoolism yang mereduksi pendidikan sebagai persekolahan belaka.
Strategi dimensi kedua dan ketiga yang lebih bersifat kuantitatif
relatif lebih mudah melaksanakannya. Persoalannya hanya ketersediaan
anggaran. Semakin besar anggaran, semakin baik. Sementara dimensi
pertama yang lebih kualitatif jauh lebih sulit. Untuk dimensi pertama
inilah, praktek pendidikan kita selama ini kedodoran. Artinya proses
pembelajaran di banyak sekolah kita tidak berlangsung efektif : tidak
membangun karakter dan kompetensi-kompetensi kunci yang diperlukan agar
hidup sehat dan produktif.
Kedodoran itu dibuktikan dengan otak-atik kurikulum yang dilakukan
selama ini, termasuk upaya pengembangan kurikulum 2013 saat ini.
Kedodoran itu diperparah oleh guru yang tidak kompeten dan budaya
sekolah yang tidak meritokratik sebagai pelaksana kurikulum yang
mengubah kurikulum yang direncanakan menjadi kurikulum yang terlaksana.
Pada akhirnya pendidikan yang baik tergantung bagaimana murid belajar
sebagai sebuah proses memaknai pengalamannya sehari-hari. Proses
memaknai pengalaman itu kemudian ditunjukkan oleh perubahan sikap dan
praktek kehidupan sehari-hari yang diteladankan guru dan dibudayakan di
sekolah. Sesederhana ini sebenarnya apa yang bisa kita harapkan dari
pendidikan : memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, bukan untuk
menjuarai lomba-lomba sains, atau lulus Ujian Nasional.
Perbaikan mutu pendidikan ini dengan demikian sesungguhnya tergantung
pada kualitas guru dan budaya sekolah di mana murid mengalaminya
sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari, bukan sekedar menjelang
ujian-ujian. Jika kualitas guru seburuk saat ini, dan budaya sekolah
sebirokratis saat ini, lama bersekolah justru semakin menggerogoti
kemandirian dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan
nyata sehari-hari. Sekolah menjadi ladang pembantaian inovasi, tempat
yang pengap bagi beragam ekspresi multi-ranah multi-cerdas
murid-muridnya.
Yang kita butuhkan saat ini bukan perubahan kurikulum, tapi perubahan
guru dan budaya belajar. Guru harus menjadi sosok yang mandiri dan
teladan manusia merdeka yang tidak mudah diintimidasi oleh
birokrat.pendidikan dan wali murid. Pembinaannya harus dilakukan oleh
organisasi profesi guru, bukan oleh Pemerintah. Guru tidak boleh
dipandang lebih sebagai pegawai, tapi sebagai profesional yang bekerja
dengan berpedoman pada kode etik guru.
Budaya belajar dapat dikembangkan dengan sederhana. Mulailah dengan
membangun budaya membaca yang sehat. Sediakan layanan perpustakaan yang
baik, dengan koleksi buku yang bermutu, serta akses internet yang
memadai hingga tingkat kecamatan. Kemudian hargai pengalaman dan praktek
murid sehari-hari menjadi bagian dari diskusi kelas. Kembangkan budaya
menulis, lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Begitulah budaya
belajar di sekolah dibentuk. Jadikan sekolah sebagai tempat murid
belajar, bukan sekedar tempat guru mengajar, dan statistik kelulusan
ujian diukur untuk kepentingan birokrasi.
Di abad internet ini, belajar semakin tidak membutuhkan sekolah. Yang
dibutuhkan adalah sebuah jejaring belajar (oleh Ivan Illich disebut
learning web) yang lentur dan luwes. Murid bisa belajar di mana saja,
kapan saja, dan dengan siapa saja. Kurikulum, melalui guru, harus
menyesuaikan murid, bukan sebaliknya. Dalam perspektif ini, kita tidak
membutuhkan Kurikulum Nasional. Kita butuh standar nasional yang
bersifat generik. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebenarnya
sudah cukup baik, namun tidak terlaksanakan oleh guru yang kompeten
yang berani secara kreatif merancang proses pembelajaran yang paling
sesuai bagi murid-muridnya. Saya khawatir ikhtiar Kemendikbud kali ini
akan sia-sia (lagi) dan Kurikulum 2013 akan menjadi perencanaan
kegagalan pendidikan dan kita bakal menuai tagihan demografi, bukan
bonus demografi.***
Disaln melalui situs BINTANG EDUKASI
Oleh : Prof. Daniel M. Rosyid
http://www.bincangedukasi.com/kurikulum-2013-daniel-rosyid.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !